Salam Teh...
1684 Teh mask ke Indonesia berupa biji
Teh (diduga teh sinensis) dari Jepang yang dibawa oleh bangsawan Jerman pegawai
VOC bernama Andreas Clever, ditanam sebagai tanaman hias di Batavia/Tijgers Gracht (sekarang Jakarta).
1694 Seorang Rahib/Pendeta bernama Francois
Valentijn ia melaporkan melihat tanaman Teh Sinensis (Perdu Teh dari Tiongkok) di halaman Rumah/Istana
Gubernur Jendral VOC Jendral Johanes
Camphuys di Batavia.
1728 Orang-orang Belanda memulai
mencoba menanam Teh untuk keperluannya sendiri dengan menggunakan benih yang
didatangkan dari Cina. Pengolahan Teh didukung oleh pemerintah VOC.
1753 Linaelus menulis system
Binominal tentang Teh. John Hill menganggap Thea Virdis sebagai Teh Hijau, Thea Baliwa sebagai Teh Hitam.
1811 Pemerintahan Gubernur Jendral Raffles (1811 – 1816) menerapkan sistim Landrente (semua tanah milik Negara)
rakyat penggarap harus membayar sewa tanah, diteruskan oleh Belanda hingga
Tahun 1830.
1817 Berakhir pemerintahan Inggris di
Nusantara, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan ‘Land’s Plantentuin Buitenzorg’/ ‘Kebun Raya Bogor’ sebagai kebun Botani.
1824 Teh ditanam di Land’s Plantentuin Buitenzorg dan
dikenalkan kepada Masyarakat. (ada yang mencatat tanaman Teh melengkapi di
tahun 1826).
1828 Percobaan Teh dianggap berhasil,
mulai diangun perkabunan sekala besar yang dipelopori oleh Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson
(seorang ahli Teh) di Jawa, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van
Den Bosch. Teh menjadi salah satu tanaman yang terlibat dalam Cultuurstesel (dimulaikan Era Industri Perkebunan
Teh di Nusantara).
1827 Teh berhasil ditanam di kebun
percobaan Cisurupan Garut Jawa Barat, kemudian percobaan yang lebih besar
sekalanya juga berhasil dilakukan di Wanayasa, Purwakarta dan di lereng Gunung
Raung, Banyuwangi Jawa Timur.
1830 Cultuurstesel diterapkan dan Teh menjadi salah satu komoditi yang
harus ditanam Rakyat. Dalam Peraturan yang diterapkan Pemerintah Kolonial
berbunyi bahwa “setiap desa harus
menyediakan 1/5 tanahnya untuk ditanami Komoditi Export dan panennya dijual ke
Pemerintah denganharga yang ditetapkan Pemerintah”, peraturan itu juga “mewajibkan rakyat yang tidak punya lahan
harus bekerja selama 75 hari dalam setahun”. Dalam praktiknya semua lahan
harus ditanami dengan komoditas yang ditentukan oleh Pemerintah dan mereka yang
tidak punya lahan harus bekerja setahun penuh di Perkebunan.
1833 Terdapat 1.700.000 batang pohon
Teh denga hasil 16.833 Ton.
1835 Teh Kering olahan dari Jawa
tercatat pertamakali diterima/dilelangkan di Amsterdam sebanyak 200 peti,
setahun berikutnya dilakukan Swastanisasi
Perkebunan Teh.
1841 Kebun Teh diseluruh Jawa baru ada
-/+ 3.000 bou (2.129 Ha).
1843 Robert Fortune menemukan Hitam dan Hijau Teh karena prosesnya bukan
tanamannya.
1846 Kebun Teh diseluruh Jawa baru ada
-/+ 4.500 bou (3.193 Ha).
1872 Import benih Teh Assam, sebelumnya dari Tiongkok,
Jepang.
1875-1880 Kebun Teh rakyat terdapat di Sinagar
dan Parakan.
A.B.B. Crone (Bapak Teh Rakyat), membagikan
biji Teh Cuma-Cuma kepada Rakyat di Cicurug dan Cibadak.
1877-1878 Teh
Assamica mulai masuk ke Indonesia (Jawa) didatangkan dari Sri
Lanka (Ceylon) dan ditanam oleh R.E. Kerkhoven di kebun Gambung,
Jawa Barat (sekarang menjadi lokasi Pusat
Penelitan Teh dan Kina). Karean Teh
Assamica sangat cocok di Indonesia dan produksinya lebih tinggi secara
berangsur pertanaman Teh Sinensis
diganti dengan Teh Assamica dan sejak
itupula Perkebunan Teh di Indonesia berkembang semakin luas.
1893 Kebun Teh Rakyat seluas 300 Ha.
1902 Thee Proefstation (Balai
Penelitian) yang pertama di Bogor
kemudian bernaung dibawah Centrale Proefstation Vereninging (CPV).
1909 Luas kebun Rakyat 8.000 Ha.
1910 Perluasan kebun Teh ke Sumatra
Utara dimulai dengan dibangunnya Perkebunan Teh di daerah Simalungun.
Menjelang Perang Dunia II Perdagangan Teh memberikan keuntungan besar bagi KAS
Negeri Pemerintah Kolonial (berkantor di Amsterdam
dan Rotterdam) terdapat 324
perusahaan (259 perusahaan di Jawa Barat atau 78%), sebelum Perang Dunia II
Luas perkebunan Teh di Indonesia mencapai 230.000 Ha. Pada Perang Dunia II
Lebih dari setengah Perkebunan Teh rusak karena perang. 1910-1914 dan 1920-1928
Periode puncak laju pertumbuhan Teh pertahun per Hektar menjadi rata-rata 6.3 %
dengan laju pertumbuhan penanaman yang jauh lebih tinggi.
1910-1940 Perluasan Perkebunan di Selatan Priangan.
1918-1921 Depresi Ekonomi, Haya Pabrik-pabrik dekat Sukabumi
yang disewa Pemerintah bertahan melakukan pengolahan Teh Rakyat.
1945 Setelah Perang Kemerdekaan,
Pemerintah memperbaiki kembali Industri
Teh, walaupun luasnya tidak mencapai keadaan sebelum perang tetapi
produksinya meningkat TAJAM.